Jumat, 19 Juli 2013

Terjaring Raja Laba-Laba Rajabasa

Entah laba-laba di lereng Gunung Rajabasa ini terbilang laba-laba raksasa di dunia atau tidak. Yang pasti, dari beberapa laba-laba yang pernah aku temui di sejumlah hutan gunung, inilah yang terbesar sehingga aku langsung menyebutnya Raja Laba-Laba Rajabasa. 

Sampai sekarang aku sendiri belum tahu laba-laba jenis apa ini. Yang pasti waktu pertama melihatnya, jujur aku langsung kesemsem, bak remaja pria akhil baliq yang sumringah ketika disapa perempuan ranum yang disukainya untuk kali pertama. 

Ukuran laba-laba inilah yang membuatku terpikat sejak awal. Lebih besar dari laba-laba umumnya. Kalau dibandingkan dengan laba-laba beracun tarantula raksasa yang ditemukan di Srilangka, sekitar 25 Cm atau sebesar wajah manusia dewasa, memang ukuran laba-laba Rajabasa ini tak ada apanya. Tapi tetap saja lumayan besar dan mencengangkan.

Menakar bentuknya itu, aku sempat mengira salah satu hewan serangga ini agresif bahkan mungkin berbisa seperti halnya tarantula. Ternayata dugaanku salah.

Ketika aku mendekati kameraku dan beberapa kali memotretnya, dia anteng-anteng saja. Hanya sesekali dia merubah posisi gayanya, bak seorang supermodel yang tengah berpose apik saat difoto untuk sebuah majalah fesyen terkemuka.

Dan yang bikin suprise, bukan cuma satu yang aku temukan tapi ada lima laba-laba di tepi jalur pendakian Rajabasa, Kalianda, Lampung Selatan lewat Way Belerang.

Lokasi laba-laba jumbo ini berada di areal perkebunan pohon-pohon produktif seperti duren, pisang, coklat, kelapa, dan pinang, tak jauh dari desa terakhir menuju Pos Satu.

Kondisi tempat tinggalnya agak terbuka dengan sinar matahari yang leluasa masuk. Bukan di hutan lebat sebagaimana laba-laba kecil berjapit yang kutemukan di hutan Gunung Sanggabuana, Kerawang, Jawa Barat beberapa waktu lalu.

Bisa jadi keberadaan pohon-pohon produktif yang tidak terlalu rindang inilah yang membuat laba-laba ini betah tinggal dan berkembangbiak di situ. Atau juga karena ruangnya yang lebih terbuka dan hangat. Itu dugaan sementaraku.

Soalnya sepanjang jalur dari Pos Satu hingga puncak utama sampai ke Batu Cukup dan danau kawah yang berhutan rimbun, tak satu pun laba-laba serupa yang saya temukan lagi.

Justru beberapa hewan lain yang terlihat seperti beberapa jenis kadal dan juga tonggeret yang tak henti ber-“konser” ria memamerkan suara khasnya serta monyet walaupun hanya ku dengar suaranya.

Sementara di areal berhutan rapat dan berudara lembab mulai Pos Lima menuju danau kawah, pacet-lah yang menjadi penguasanya. Di samping itu ada bunglon terbang, ulat kecil, ular tanah, dan kupu-kupu putih berukuran mini yang terus-menerus hinggap di sepatuku serta keong lunak tak bercangkang yang menempel di Batu Cukup dan di beberapa batang semak belukar di dataran danau kawah yang sedang tak berair.



Bentuk dan warna berbeda
Yang menarik lagi, masing-masing postur dan warna laba-laba yang kutemukan itu berbeda satu sama lain. Ada yang badannya lebih ramping dan ada yang lebih besar. Aku menduga yang ramping dan agak feminim itu betina, sedangkan yang lebih besar dan agak kekar itu laba-laba jantan. Entahlah benar atau tidak.

Sementara warnanya ada yang kehijau-hijauan, kebiru-biruan, abu-abu, dan ada juga yang berwarna hitam dengan kaki-kaki berwarna merah. Benar-benar cantik dan tampan.

Kebanyakan saat kutemukan mereka sedang berdiam diri di tengah jaringnya yang juga berukuran lebih besar dari jaring laba-laba biasa. Bisa jadi ukuran jaring-jaringnya itu disesuaikan dengan besar tubuhnya. 

Mereka terlihat santai-santai saja, tak banyak bergerak seperti tengah berjemur atau bahkan mungkin sedang istirahat siang. Maklum saat ku jumpai, matahari berada tepat di atas kepala.

Tapi ada juga satu laba-laba yang tengah menyantap sesuatu dengan lahapnya. Sepertinya dia sedang santap siang. Saking asyiknya, dia tidak peduli dengan kehadiranku dan lima rekanku dari Comunitas Cinta Alam Kalianda (CICAK) yakni Iyan, Amin, Belo, Dimas, dan Adji yang melewatinya.

Melihat sikap mereka yang cool, friendly, dan tak wara-wiri, membuatku leluasa mengabadikannya beberapa kali. Bahkan beberapa rekanku sempat menjadi latarbelakang foto laba-laba ini, seolah mereka tengah terperangkap dalam jeratan jaring laba-laba bongsor ini. Hasilnya seperti yang terlihat di sini, memperkuat tulisan ini.















Ketika mendekati laba-laba terakhir berwarna hitam dengan kaki-kaki berwarna merah yang ku lihat tak jauh dari trek pendakian, entah kenapa aku berharap diantuk laba-laba tersebut.

Siapa tahu setelah mendapat antukannya, badanku demam lalu berubah menjadi manusia laba-laba super sakti melebihi kesaktian Peter Parker yang diperankan oleh Tobey Maguire setelah diantuk laba-laba kecil dalam film Spiderman 3, yang amat mahir melompat dengan jaring yang keluar dari jari tangannya dan bisa merayap lincah seperti cicak di dinding lantaran telapak tangan mengeluarkan cairan lengket.

Mengapa berharap lebih sakti? Karena ku pikir laba-laba ini jauh lebih besar dan gagah dibanding laba-laba yang meng-antuk Peter Parker.

Sayangnya laba-laba itu mengacuhkanku, bahkan diam seribu bahasa seperti patung. Aku jengkel, dan segera berlalu mengikuti kelima rekanku, kembali menapaki medan panjang yang makin lama makin terjal. 

Bertemu laba-laba berukuran tak biasa di Rajabasa, akhirnya membuatku rela memberi point lebih terhadap gunung yang pucuknya berketinggian 1.281 meter di atas permukaan laut ini.

Dan karenanya pula keyakinanku semakin menebal, kalau gunung yang tak tersohor itu terkadang menawarkan keunikan tersendiri, entah itu dari trek pendakiannya, hutannya maupun penghuninya baik flora maupun faunanya. Buktinya Rajabasa ini.

Sekalipun sangat kalah populer dengan Gunung Krakatau, tetangga terdekatnya yang tubuh cucunya semakin meninggi di perairan Selat Sunda, ternyata memberikan kejutan berupa kehadiran raja laba-laba dan juga trek pendakian yang tak terduga, lumayan menguras fisik dan menguji mental.

Kini yang menjadi pertanyaan, apakah raja laba-laba Rajabasa ini penghuni tetap gunung berpuncak-puncak ini? Atau hanya pelintas sementara atau tamu musiman yang datang pada musim-musim tertentu. Kiranya masih banyak misteri yang menyelimuti laba-laba unik satu ini, dan belum sepenuhnya terkuak.

Perlu waktu, tenaga, dan biaya untuk mencari tahu semua teka-teki tentangnya. Dan jika ketiga faktor pendukung itu terpenuhi, aku rela kembali ke gunung ini untuk mengenalnya lebih intim.

Satu yang pasti, keberadaan raja laba-laba Rajabasa, membuatku jatuh hati dengan gunung yang konon menjadi tempat bertemunya para raja gaib dari berbagai “kerajaan” ini, meskipun namanya tak seharum gunung-gunung lain.

Naskah & foto: Akmal Kurniawan

Menara Siger Dilirik Investor Singapura

Jakarta punya Tugu Monas, Palembang tentu saja Jembatan Ampera-nya, Bandung dengan Gedung Sate-nya, Bukittinggi bangga dengan Jam Gadang-nya, sementara Medan punya Masjid Raya dan Istana Maimun. Lampung pun tak mau kalah, provinsi terdekat dengan Pulau Jawa ini memilik Menara Siger sebagai landmark-nya. 



Itulah Menara Siger yang menjadi menjadi titik nol Sumatera di sebelah Selatan dan pintu gerbang Provinsi Lampung. Bangunannya berbentuk mahkota terdiri dari sembilan rangkaian yang melambangkan sembilan macam bahasa di Lampung. Bangunannya juga berhiaskan ukiran corak kain tapis khas Lampung.

Kabarnya, menara kebanggaan masyarakat Lampung yang melambangkan semua aspek kehidupan masyarakatnya baik itu keagamaan, pendidikan, dan seni budaya ini dilirik investor Singapura untuk dijadikan obyek wisata berkonsep internasional dengan beragam wahana hiburan dan fasiltas pendukung lainnya. Bahkan nantinya dalam kawasan Menara Siger bakal lebih lengkap dibanding Taman Inpian Jaya Ancol yang ada di Jakarta. 

Sesuai namanya, menara berketinggian 110 meter ini dibuat berdasarkan "Siger", yaitu topi adat pengantin wanita Lampung. Menara Siger mulai dibangun pada tahun 2005 dan diresmikan oleh Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P pada tanggal 30 April 2008 dengan menghabiskan biaya Rp15 miliar.

Pendirian menara berwarna kuning keemasan ini katanya menjadi awal dari pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS), yang menghubungkan Pelabuhan Bakauheni dengan Pelabuhan Merak, antara ujung Sumatera dengan ujung Barat Jawa.

Menara yang dibangun oleh arsitek asli Lampung, Ir. Hi. Anshori Djausal M.T ini dibuat dengan menggunaan teknik ferrocement, yang mampu menahan terpaan angin kencang. Teknik ini menggunakan jaring kawat menyerupai jaring laba-laba. Pengerjaan lambang Siger dan beberapa ornament lainnya, tidak menggunakan cor-coran, meliankan bagian per bagian dengan tangan. Dengan cara ini, setiap inci bangunan tahan guncangan dan terpaan angin laut

Sebagai tugu di ujung Pulau Sumatera, Menara Siger dilengkapi dengan tulisan penanda Titik Nol Pulau Sumatera. Di sekitar tugu dibangun ruang-ruang yang menampilkan budaya Lampung serta sarana-prasarana pariwisata.

Bangunannya juga dilengkapi dengan ruangan tempat wisatawan melihat Pelabuhan Bakauheni serta keindahan panorama perairan laut dan alam sekitarnya, serta sarana informasi mengenai peta wisata seluruh kabupaten/kota se-Lampung.

Dari Menara ini, Anda dapat melihat keindahan alam di sekitarnya, perumahan penduduk, mobilitas di Pelabuhan Bakauheni, dan tentunya keelokan perairan Selat Sunda. Apalagi kalau Anda datang menjelang fajar.

Dari atas menaranya Anda bakal disuguhkan pesona panorama matahari terbit (sunrise) menjelang pagi, dan keindahan matahari terbenam (sunset) saat senja hari.

Akses mencapai menara ini terbilang mudah. Dari Pelabuhan Bakauheni hanya berjarak 1.8 km, dari Kalianda 18,3 km, dan dari Bandar Lampung sekitar 101 Km.

Selain Menara Siger yang selalu menyapa Anda, masih ada lagi sejumlah obyek wisata di Kabupaten Lampung Selatan yang menarik untuk Anda kunjungi seperti Gunung Krakatau, Gunung Rajabasa,  Air Panas Simpur, Air Panas Way Belerang, Makam Radin Intan II, dan Batu Tulis Palas Pasemah.

Serta sejumlah pantainya Pantai Wartawan dan Air Panas Way Muli,  Canti Indah,  Pasir Putih, Bagus, Merak Belantung, dan Pantai Kalianda Resort, dan juga bebearpa pulau di perairan Selat Sunda dan Teluk Lampung.

Naskah & Foto: Akmal Kurniawan

Makyus-nya Ayam Goreng & Tempe Orek Buatan Bunda di Atap Lampung Selatan

Menu utamaku selagi nanjak gunung biasanya serba praktis seperti mie, roti isi, dan buryam kemasan. Lauknya telur asin, ikan teri, dan abon. Sisanya makanan kecil seperti biskuit, madu, dan minuman kotak serta kopi ataupun sari jahe. Tapi sewaktu mendaki Gunung Rajabasa, hmmm.., bertambah komplit plit, plit, plit. Soalnya dua dari lima rekanku juga membawa ayam goreng, tempe orek, dan nasi buatan bunda. 

“Dimas tempe orek dan nasinya jangan lupa dibawa. Nanti makan apa di sana? Ini buat teman-temanmu juga,” kata bundanya Dimas sewaktu kami hendak berangkat dari rumahnya menuju kaki Gunung Rajabasa yang berjarak sekitar 1,5 Km. Mendapat perhatian seperti itu, jujur membuatku iri dan kangen perlakuan bundaku dulu.

Aku yakin bundanya Dimas begitu, bukan semata karena dia khawatir lantaran jagoan mudanya ini baru kali pertama nanjak gunung, sekalipun lokasinya tak jauh dari kediamannya, masih di Kalianda, Lampung Selatan. Melainkan karena naluri keibuannyalah yang membuatnya selalu begitu, dan akan terus begitu sepanjang hayat.

Aku jadi ingat bundaku dulu. Sewaktu aku masih berstatus mahasiswa, setiap kali aku packing barang buat nanjak, dia selalu bertanya mau kemana? Nanti makannya dimana? Sikapnya kadang bikin bete, kayak baru pertama kali lihat aku mau naik gunung saja. Padahal dia sudah tahu betul, sejak masuk SMA anaknya ini doyan nanjak dan terbiasa mandiri.

Seiring bertambahnya usia, akhirnya aku menyadari mengapa bundaku selalu bersikap begitu dulu. Itu semata karena dia sayang dan tak ingin anaknya kenapa-kenapa. Sekalipun kekhawatirannya itu terkesan berlebih dan menganggap anaknya masih seperti bocah.

Sekantong plastik putih berisi tempe orek yakni tempe yang dipotong kecil-kecil lalu digoreng kering dengan kecap, potongan cabe, irisan bawang merah dan ditambah lada, hasil racikan bundanya Dimas dan juga lima bungkus nasi putih, akhirnya jadi kami bawa. Dimas membawa tempe oreknya, sedangkan Adji  rekanku yang termuda, kebagian membawa lima bungkus nasi karena daypack-nya masih longgar.

Aku yakin, suatu saat Dimas, pemuda berdarah Jawa-Jogja yang kini tengah menyelesaikan semester 8 di salah satu perguruan tinggi swasta di Bandar Lampung ini, akan memahami sikap keibuan yang ditunjukkan bunda kandungya itu secara spontan dan alamiah.

Dan aku pun percaya, dimanapun sikap orangtua terutama seorang ibu selalu begitu dengan anaknya. Sekalipun anaknya sudah menjadi pria dewasa.

Cuma kadar dalam menunjuknya rasa kekhawatiran sebagai salah satu bentuk perwujudan kasih sayangnya itu masing-masing berbeda. Ada yang frontal alias blak-blakan, ada juga yang biasa-biasa saja, dan ada pula yang tak kentara padahal dalam hatinya dia sangat menyayangi darah dagingnya. Sikap yang terakhir, biasanya cenderung lebih kepada seorang ayah terhadap putranya.



Ayam Kuning Buatan Bunda 
Dengan tambahan tempe orek dan nasi itu, aku pikir ini lebih dari cukup. Soalnya aku sendiri sudah bawa aneka logistik favorit praktis dari Jakarta. Ditambah logistik hasil patungan dengan kelima rekanku dari tim CICAK alias Comunitas Cinta Alam Kalianda yakni Iyan, Amin, Andi, Dimas, dan Adji.

Ternyata tak cuma itu. Rekanku yang lain Amin, membawa seekor ayam yang sudah dipotong-potong menjadi beberapa bagian dan juga sudah dimasak oleh bundanya dengan bumbu kuning seperti kunyit, bawah putih, jahe, garam, dan batang sereh.

Teman-temannya mengira Amin sengaja membawa ayam karena anggota CICAK yang mahir otak-atik mesin mobil ini ingin merayakan ulang tahunnya dengan sesuatu yang berbeda di puncak gunung. Ternyata bukan, ultahnya bukan di bulan Mei. "Lagi pingin bawa ayam aja, baru sekarang kesampaian," ujar Amin.

Lalu apa karena disuruh bundanya sebagai bekal? Entahlah, yang pasti bundanya Amin, turut berjasa karena telah meracik ayam itu menjadi masakan yang tak patut ditolak.

Potongan ayam yang sebenarnya sudah siap santap itu ditempatkan dalam baskom plastik kecil lalu dibungkus dengan kantong plastik biar tidak tumpah.

Ayam goreng buatan bundanya Amin itu akhirnya kami nikmati sebagai lauk utama santap malam di puncak utama Gunung Rajabasa yang berketinggian 1.281 meter di atas permukaan laut sekaligus menjadi atap tertinggi Kabupaten Lampung Selatan, setelah lebih kurang 8 jam mendaki lewat jalur Way Belerang.

Sebelum disantap, potongan ayam itu aku goreng di wadah nasting dengan minyak mie, lantaran Iyan lupa membeli mentega. Paduan minyak mie ditambah kuah minyak ayam yang sudah mengental, justru membuat rasa ayamnya makin makyus setelah digoreng. Apalagi disantapnya di puncak gunung, kenikmatannya jadi bertambah-tambah.

Satu orang kebagian satu potong ayam berukuran cukup besar. Bahkan masih tersisa 3 potong lagi yang kami santap keesokan paginya sebagai lauk sarapan.

“Woi, tempe oreknya mana nih, tadi ada di sini,” teriak Dimas menanyakan lauk buatan bundanya itu. “Oiya, pantas ada yang kurang. Itu di dekat pintu tenda,” sahut Amin sambil menunjuk ke arah bungkusan tempe acak-acak itu. Kami pun hanyut dalam kenikmatan special dinner itu.

Saat aku melihat kelima rekanku begitu asyiknya melahap dua menu ditambah nasi dan mie, aku jadi teringat bundanya Dimas yang ramah saat bertemu di rumahnya dan bundanya Amin yang berjiwa muda dan senang bercanda, sekurangnya begitu saat bareng satu mobil melawat orang meninggal.

Berkat naluri keibuan keduanyalah, makan malam kami di puncak mungil yang cuma mampu menampung sekitar 3 tenda ini, menjadi begitu istimewa.

Bayangkan kalau tidak ada perhatian luar biasa dari keduanya, belum tentu kami dapat makan senikmat ini. Andai pun kami bawa bahan mentahnya lalu mengolahnya sendiri mulai dari beras, ayam dan bumbu-bumbunya pasti kami kerempongan alias kerepotan dan kesusahan memasaknya, selain pastinya menyita banyak waktu.



Saat makan, aku juga teringat akan anggapan, apapun lauknya kalau dimakan di puncak gunung akan terasa nikmat. Sebab bukan menunya yang membuatnya begitu, melainkan kebersamaan dan atmosfirnya. Aku setuju hal itu.

Tapi harus aku akui pula, kehadiran tempe orek dan ayam goreng buatan kedua bunda rekan pendakianku itu, mengubah makan malam kami di puncak yang berpanorama perairan Selat Sunda dan pesisir Kalianda di kejauhan saat cuaca cerah ini, menjadi mewah. Rasanya mengalahkan kemewahan candle light dinner di hotel berbintang lima dengan aneka menu berkelas sekalipun.

Saking nikmatnya, Andy, anggota CICAK yang biasa disapa Belo sampai lupa kalau dia sedang sakit gigi dan pipi kanannya bengkak. Dia terus saja menyantap kedua menu itu dengan lahapnya.

Naskah: Akmal Kurniawan

Jamur-Jamur Cantik Penghuni Hutan Rajabasa

Ratusan jamur berwarna putih susu berbentuk bulatan kecil yang tumbuh di batang pohon lapuk yang akarnya masih menancap kuat di lereng Gunung Rajabasa ini, amat memikat mata. Warna dan bentuknya begitu kontras dengan hutan di sekitarnya yang ijo royo-royo. Ternyata mereka tidak sendirian. Masih ada beberapa jenis jamur lain yang betah tinggal di ujung belantara Sumatera ini. 



Aku langsung mendekati mereka dan memotretnya berkali-kali. Lokasi jamur-jamur itu tak jauh dari jalur trek. Mungkin kalau warnanya bukan putih dan jumlahnya tidak banyak, agak samar terlihat. 

Keberhasilan bertemu dengan jamur pentol putih itu menambah jumlah koleksi jamur yang kutemui di hutan gunung yang atap utamanya berketinggian 1.281 meter di atas per mukaan laut ini.

Sebelumnya, sewaktu menuruni lembah curam berhutan rapat dan berudara lembab dari Pos 5 menuju danau kawah yang sedang tak berair dan daratannya ditumbuhi ilalang serta semak belukar, aku sempat melihat jamur kuping berwarna hitam pekat dengan daging yang cukup tebal.

Amin, anggota tim CICAK lainnya juga melihat jamur itu dan sempat mengatakannya. “Tadi di bawah situ ada jamur hitam,” katanya. Sebenarnya aku sudah melihatnya, cuma lantaran saat itu tengah fokus menuruni medan curam dan licin, aku jadi tak sempat mengabadikan jamur keling itu.

Sehari sebelumnya, ketika mendaki lereng gunung ini dari pos 3 menuju pos 4, aku juga bertemu dengan jamur dengan bentuk dan corak warna cerah coklat kemerahan.

“Mirip terumbu karang yah,” kata Belo ketika melihat fisik jamur lebih dekat itu. Apa yang dibilang angota tim CICAK berkulit gelap ini ada benarnya. Sepintas, jamur yang tumbuh di sebatang ranting di dasar hutan ini memang menyerupai terumbu arang di dasar laut. Pinggiran kelopaknya seperti kelopak bunga, ditambah dengan warnanya yang cerah menggoda.

Di tempat lainnya juga ada beberapa jenis jamur yang berukuran lebih kecil. Namun bentuk dan warnanya kurang menarik, membuatku enggan mengabadikannya.

Sekurangnya ada enam jenis jamur yang berhasil ku temukan selama mendaki dan menuruni lereng-lereng gunung berpuncak-puncak di Kalianda, Lampung Selatan lewat jalur Way Belerang ini.

Bisa jadi ketersediaan nutrisi yang melimpah ditambah udara lembab dan diteduhi kerimbunan hutan, membuat jamur-jamur itu tumbuh subur dan betah tinggal di hutan Rajabasa.



Kaya Flora Asli dan Pendatang 
Selain jamur, masih banyak flora lain di hutan Rajabasa ini. Mulai dari pohon-pohon besar seperti rasamala, beringin dan lainnya hingga tanaman kecil seperti kantung semar, bunga liar, alang-alang sampai lumut.

Pohon pendatang yang sengaja ditanam penduduk sejak berpuluh-puluh tahun juga tersebar dari lahan di atas kampung terakhir sampai melewati Pos Satu seperti pohon coklat, kopi, durian, petai, cabai, cengkeh, dan kelapa.

Pohon-pohon produktif itu sudah lama menempati areal lereng awal pendakian gunung ini. Luasnya hektaran dan dimiliki sejumlah penduduk Way Belerang yang umumnya orang Sunda, transmigran asal Serang, Banten.

Salah satunya Wahid, ayah beranak 2 yang memiliki perkebunan di sekitar Pos Satu seluas seperempat hektar. “Perkebunan ini warisan orangtua saya yang sudah menetap di Way Belerang sejak tahun 1960-an,” ujar Wahid saat aku temui sedang memanen kopinya di dekat Pos satu.

Berkebun di lereng yang dulunya belantara ini bukan perkara muda. Apalagi berbatasan langsung hutan yang masih dihuni sejumlah primata yang menjadi hama tanaman tertentu.

 “Monyet paling suka makan duren. Makanya setiap musim duren, pohonnya harus dijaga agar monyet takut dan tidak jadi nyolong,” jelas Wahid yang menjual durennya seharga Rp 5.000 hingga Rp 7.000 per butir sesuai ukuran ke penadah setiak kali panen.



Duren di Rajabasa berbuah setiap musim kemarau. Saat panen, ada tenaga pemanjat khusus untuk mengambil buahnya. Upahnya Rp 1.000 per buah yang berhasil diambilnya. “Saya tidak sanggup petik sendiri. Lihat saja pohon durennya besar dan tinggi-tinggi,” terang Wahid sambil menunjuk ke salah satu pohon durennya yang menjulang tinggi mencapai puluhan meter.

Lain lagi dengan kopi, panennya setahun sekali. Harganya Rp 17.000 perkilogramnya. “Kopi di sini selain dijual ke luar Lampung juga menjadi oleh-oleh khas Kalianda,” jelas Wahid.

Keberadaan pohon-pohon produktif itu, disatu sisi jelas memberi pendapatan bagi masyarakat setempat. Di sisi lain, kalau tidak dibatasi dikhawatirkan akan merusak hutan asli gunung ini.

Perlu aturan jelas sampai dimana penduduk boleh memanfaatkan lereng gunung ini. Kalau tidak, nasibnya bakal serupa dengan gunung-gunung yang ada di Jawa seperti Gunung Sumbing, Sindoro, Prau dan beberapa gunung kecil lain di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah.

Hutannya nyaris habis, berubah fungsi menjadi lahan perkebunan teras terutama kentang dan kubis. Tak urung, longsor dan banjir bandang kerap mengintai pemukiman warganya saat intensitas hujan tinggi.

Keberadaan aneka pohon produktif jelas kian memperkaya flora lereng hutan Gunung Rajabasa. Tapi jujur aku sempat ngeri sewaktu melintasi perkebunan kelapa yang tengah berbuah, begitu juga ketika berada di bawah pohon-pohon duren yang besar. Ada kekwatiran takut kejatuhan buahnya dan menimpa kepala. Untunglah kecemasanku itu tak terjadi.

Naskah: Akmal Kurniawan

Sukses “DONOR” Darah di RAJABASA

Inilah bukti hasil “donor” darah di Gunung Rajabasa, pekan lalu. Donor darah yang satu ini bukan untuk keperluan orang yang membutuhkan darah atau pasien yang sakit. Melainkan  minuman segar buat para PACET yang menjadi “raja” di Gunung Rajabasa. Entah kenapa setelah mereka berhasil menghisap puas darahku di sela jari kaki, paha, dan tangan hingga punggung, aku justru merasa PUUAAAASSSSS… 



Saking terkenal dengan pacetnya, sampai ada slogan terlontar dikalangan pendaki terdahulu; “Kalau belum kena pacet Rajabasa belum komplit”. Hmmm…, slogan yang aneh tapi cukup mengusik rasa penasaran.

Kepuasan lainnya, bisa jadi karena aku dapat mengabadikan langsung pacet-pacet yang semula kecil dan bergerak-gerak lincah dengan gaya khas seperti belatung itu, yang diam-diam menempel, tanpa bersuara di tubuhku, terutama di bagian kaki.

Setelah mendapatkan lokasi yang mereka sukai, lalu mereka menancapkan mulutnya, kemudian beraksi melubangi dagingku dan perlahan menyedot cairan merahku hingga badannya kembung berisi penuh darah segarku. Ujung-ujungnya, gerakan meraka pun lamban, karena badannya terlalu gendut kekenyangan darah.

Saat tubuh mereka berbuah gendut, ada perasaan ingin MARAH tapi lagi-lagi bercampur senang. Aneh memang. Kesenanganku ini bisa jadi karena berhasil mengabadikan tubuh-tubuh mereka yang seketika berbentuk tambun dan lembek dalam waktu tak terlalu lama.



Bayangkan kalau ada ratusan pacet yang hinggap dan “menggerogotiku”, bisa kering kerontang badan dan pucat pasi wajahku. Puas mengabadikan mereka, aku cabut satu per satu pacet-pacet itu.

Lubang hisapannya di dagingku terus mengeluarkan darah. Hmmmmm.., itulah puncak dari episode yang mengasyikkan, menjengkelkan sekaligus rada mengerikan. Kendati JENGKEL tapi hatiku berteriak kegirangan: “HOREEEEEE, BERHASIIILLL”. Hmmm…Kontradiktif.

Kegiranganku bisa jadi karena sudah berhasil menjadikan pendakian Gunung Rajabasa terasa komplit sebagaimana slogan di atas. 

Sebenarnya, aku sendiri sudah tahu benar karakter Gunung Rajabasa ini. Terutama soal ‘penghuni’-nya itu. Duapuluh tahun silam (1993), selepas membuka jalur pendakian baru di Gunung Tanggamus, Kabupaten Tanggamus (dulu masih masuk wilayah Lampung Selatan) yang hutannya didominasi pacet daun atau pacet pohon yang lebih sadis hisapannya, aku berencana ingin mendaki Rajabasa. Namun takdir berkata lain, baru pekan lalu berjodoh dan berhasil “menikmati” sedotan demi sedotan para “penguasa”-nya itu.

Berdasarkan pengalaman mendaki gunung-gunung ber-PACET seperti Gunung Salak di Jawa Barat, aku jadi paham betul bagaimana menangulangi hewan-hewan yang bagi sabagian besar pendaki, amat menjijikan dan bikin momok seram. Misalnya dengan menggunakan rendaman tembakau, selain lotion anti nyamuk, bawang putih, dan minyak kayu putih, dan tak lupa mengenakan gaiters (penutup sepatu).

Tapi khusus di Rajabasa, aku enggan mengindahkan semua tips itu. Aku sengaja, karena itu tadi, ingin merasakan seberapa nikmat dihisap pacet-pacet Rajabasa. Dan ternyata, langkah itu JITU.

Selama turun dari Pos Lima menuju Batu Cukup yang menjadi “rumahnya” pacet Rajabasa ini selama lebih kurang 30 menit, sekurangnya ada 15 pacet yang menggerayangi tubuhku lalu menghisap darahku. Dan, alamaak.., semuanya berhasil menggendutkan tubuhnya masing-masing dengan darah segarku. GONDOK pastinya.

Bukan cuma aku. Kelima rekanku dari CICAK (Comunitas Cinta Alam Kalianda) yakni Iyan, Amin, Belo, Dimas, dan Adji pun tak urung menjadi ‘santapan’ mereka juga. Ada yang terkena di tangan dan lengan tapi kebanyakan di kaki.

Setibanya di Batu Cukup, aku dan kelima rekan itu pun tak kuasa lagi menahan gatal dan rasa penasaran apa ada pacet-pacet yang berjaya menyeruput darah segar kami.



Sibuk Periksa Pacet
Di atap Batu Cukup yang konon mampu menampung 20 orang tiduran padahal ukurannya hanya 2 X 2 meter itu, kami pun sibuk memeriksa seluruh bagian kaki dan tangan.

Bahkan Belo, tak kuasa menahan kegusarannya. Dia langsung membuka celana panjangnya, hingga tinggal sempak saja, lalu cepat-cepat memeriksa “areal” terpentingnya, takut kalau-kalau dimasuki pacet. Rekan-rekannya pun meneriakinya; “woiii.., ada aksi porno”.

Lain lagi dengan Dimas, entah kenapa setibanya di Batu Cukup, anak band yang juga doyan main basket dan futsal berperawakan jungkis ini lebih banyak diam dan tidak mau beranjak dari posisi duduknya. Dia begitu serius membuang pacet-pacet yang berhasil menghisap darahnya, atau bisa jadi karena shock. Maklum, inilah gunung pertama yang berhasil didakinya, dan belum apa-apa sudah mendapat “sambutan HANGAT” dari penghuninya itu.

Aku berharap Dimas tidak JERA mendaki gunung hanya karena pacet-pacet itu. Tapi sewaktu aku mengajak kelima rekanku turun ke dataran danau bekas kawah seluas 500 X 700 meter yang sedang tak berair itu, cuma Dimas yang memilih diam di Batu Cukup seraya terus melumurkan kedua kakinya dengan tembakau rokok kretek. Mungkin dia masih KESAL dengan pacet-pacet itu dan tak mau terhisap lagi oleh gerombolan temannya nanti.

Dan sekembalinya dari Batu Cukup menuju puncak utama, tempat kami mendirikan tenda semalam, ada 6 pacet baru lagi yang berhasil menggemukkan badannya dengan darahku. Sementara Dimas berhasil meminimalisir serbuan pacet lantaran sudah melumuri kakinya dengan cairan tembakau.

Kali ini yang bikinku SEBAL, dari 6 pacet baru itu, ada 2 pacet yang berhasil menjangkau paha atasku dan punggung belakangku. Jelas darah yang ditelan keduanya melimpah-ruah. Yang membuatku kepikiran dan bertanya-tanya, bagaimana mereka sampai bisa masuk ke situ?

Sebenarnya waktu menanjak kembali menuju Pos Lima di bawah puncak utama dari Batu Cukup, aku sudah merasakan beberapa titik badanku sedang “dicumbu” pacet-pacet itu. Aku dapat merasakan mereka menyeruput nikmatnya darahku, sepertihalnya aku merasakan nikmatnya menyeruput Kopi Lampung yang menjadi salah satu oleh-oleh khas Kalianda ini. Aku diamkan saja karena terlalu konsen dengan medan yang terjal dan amat licin usai diguyur hujan sejak kemarin dan semalam.



Mungkin buat kelima rekanku, pendakian ke puncak utama Rajabasa kali ini dari Jalur Way Belerang selama hampir 8 jam terbilang gagal lantaran cuaca tak bersahabat, hujan disertai angin dan mendung tebal sehingga tidak berhasil mengabadikan pemandangan menawan dari puncaknya.

Tapi buatku, pendakian ke Gunung Rajabasa yang berjarak sekitar 5 Km dari Kalianda, ibukota Kabupaten Lampung Selatan ini, justru SUKSES. Bukan lantaran berhasil menggapai puncak utamanya dan bermalam di sana, melainkan karena merasakan sensasi “disetubuhi” para penguasanya, yakni PACET.

Naskah & Foto: Akmal Kurniawan

Mendadak Jadi “Pangeran” Way Belerang Usai Turun Gunung

Lelah dan gerah usai turun gunung, enaknya mandi. Apalagi kalau mandi dengan air hangat belerang. Hmm…, dijamin bikin segar. Sayangnya, tak banyak gunung yang memiliki pemandian air panas belerang. Kalau pun ada letaknya berjauhan. Tapi tidak dengan Gunung Rajabasa di Kalianda, Lampung Selatan. Di kakinya, ada kolam pemandian air panas bernama Way Belerang yang bakal membuat Anda mendadak berubah bak pangeran muda. 

"Om, nanti mandi air panas belerang aja di bawah, di Way Belerang. Nggak jauh koq dari tempat kemarin kita memulai pendakian,” ajak Iyan sewaktu masih menuruni puncak utama Gunung Rajabasa.

Tanpa banyak pikir, aku iya-kan ajakan pentolan Comunitas Cinta Alam Kalianda (CICAK) ini, yang menemaniku mendaki Gunung Rajabasa bersama dengan 4 rekan lainnya Amin, Belo, Dimas, dan Adji pekan lalu.

Dan belum apa-apa, aku sudah membayangkan betapa segarnya badan jika mandi sauna air hangat belerang usai turun gunung. Sekelebat muncul bayangan aku tengah mandi sauna dikelilingi permaisuri-permaisuri muda nan cantik dari kerajaan antah-berantah. 

Aah.., indahnya lamunanku. Tapi seketika musnah, digantikan medan naik-turun, berliku panjang, dan licin yang menghadang di depan. Dan butuh sekitar 6 jam lagi untuk sampai ke lokasi yang dimaksud Iyan, yang pintu gerbangnya sempat kulihat sebelum memulai pendakian kemarin.

Matahari senja masih nampak ketika kami tiba di halaman parkir, depan bangunan pintu masuk merangkap loket tiket bertuliskan “Pemandian Way Belerang”. Di atap bangunannya ada Siger, lambang khas Lampung berwarna cerah merah muda.

Kelima rekanku yang tiba lebih awal rupanya sudah tak sabar. Mereka bertelanjang dada dan bercelana pendek, langsung menceburkan diri ke kolam besar berisi air hangat belerang berwarna putih keabu-abuan.

Mereka nampak begitu riang, bercanda, tertawa, dan main air seperti sekelompok pengembara yang tengah kehausan dan keletihan lalu bertemu dengan oase di tengah padang pasir yang tandus.

“Om, cepetan nyebur, airnya nggak panas-panas banget,” kata Adji personil CICAK termuda yang nama sapaannya sama denganku. “Iya bentar de, motret dulu,” balasku.

Mumpung belum berbasah ria, aku ambil kamera dan mengabadikan mereka dan suasana di dalam pemandian itu. Ada dua kolam di sana, pertama kolam besar untuk orang dewasa sedalam sekitar 1,5 meter dan kolam berukuran lebih kecil untuk anak-anak sedalam sekitar 50 Cm.

Juga ada gazebo buat duduk-duduk santai bagi pengunjung yang mengantar dan enggan mandi. Fasilitas lainnya MCK dan ruang ganti baju pria dan wanita serta tempat bilas.

Areal kolam dikelilingi tembok setinggi kurang lebih 2 meter. Di tengah kolam air dewasa yang tepiannya dibuat berundak-undak, ada gelumbung-gelumbung air beruap yang keluar dari sumber mata air panas belerang dari dasarnya.

 

Pengunjung yang tidak bisa berenang, tak perlu cemas. Di sini ada penyewaan ban karet ukuran besar dan kecil. Jadi bisa mengapung ke tengah dan mengelilingi kolam. Atau cukup berendam dan berenang di tepian kolamnya saja.

Selesai motret, aku langsung tanggalkan kaos dan celana panjang kemudian membasahi badan terlebih dulu dengan air dingin di tempat bilasan. Baru kemudian nyemplung ke kolam besar. Hmmmm.., airnya hangat-hangat kuku dan bau belerangnya tidak terlalu menyengat.

Tak lama kemudian, pesanan kelapa muda ijo dan gado-gado datang. Kami pun makan bersama di pinggir kolam. Bahkan Dimas dan Iyan membawa gado-gado-nya ke tengah kolam. Mereka makan sambil berendam badan dengan air hangat belerang. Mereka seperti pangeran-pangeran muda yang tengah menikmati kemewahan fasilitas “Kerajaan Rajabasa”. Kontan, aksi mereka pun dilirik sejumlah pengunjung lain yang terlihat iri.

Tak puas dengan kelapa muda, Belo rekan yang paling rajin, berinisiatif bikin kopi. Dia pun masak air dengan kompor gas dan nasting. Airnya dari sisa persediaan yang diambil di aliran sungai kecil alami di Pos Satu, sewaktu turun gunung tadi.

Pendakian Menjadi Sempurna
Satu jam mandi sauna dan berendam di air hangat belerang ditambah dengan kelapa ijo, gado-gado serta kopi hangat, hmmm.., benar-benar menutup perjalanan pendakian ini menjadi SEMPURNA, seperti judul lagu Andra and the Backbone yang kulantunkan pelan-pelan di kolam itu. “…Kau begitu sempurna. Di mataku kau begitu indah. Kau membuat diriku akan slalu memujimu…”.

Entah kenapa setiapkali berendam dan mencelupkan kepala di air hangat belerang yang dipercaya ampuh mengobati berbagai penyakit kulit dan reumatik ini, aku merasakan kesegaran luar biasa. Aku seperti terlahir kembali dengan jiwa baru, jiwa anak muda 20-an tahun.

Dan senangnya lagi, lubang-lubang kecil sisa hisapan “vampire” alias pacet Rajabasa di kaki dan tanganku pun sirna. 














Andai saja pemandian itu buka sampai malam, aku dan kelima rekanku pasti masih betah berlama-lama di sana. Sayangnya lepas Maghrib, tempat ini tutup.

Pemandian air panas Way Belerang yang beberapa tahun belakangan ini dikelola Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Lampung Selatan, berada di Desa Sukamandi, persis di kaki Gunung Rajabasa yang atapnya berketinggian 1.281 meter di atas permukaan laut. Jaraknya sekitar 2 Km dari pusat Kota Kalianda, ibukota Kabupaten Lampung Selatan.

Sumber air panas belerang di tempat ini sebenarnya sudah dimanfaatkan sejak tahun 1800-an, pada zaman penjajahan Belanda. Ketika itu digunakan sebagai tempat peristirahatan dan juga tempat pemandian para petinggi militer Belanda pada masanya.

Kalau Anda ingin ke sana, dari Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) Simpang Fajar atau Masjid Agung Kalianda, kemudian menuju ke Jalan Kusuma Bangsa atau jalan ke arah Pasar Inpres. Dari situ, terus menuju ke arah Gunung Rajabasa masuk di Jalan Raya dalam Kota Kalianda. Waktu tempuhnya sekitar kurang lebih 15 menit.

Tiket masuknya Rp 10.000 per orang dewasa dan Rp 5.000 per anak-anak. Sewa ban karet besar cuma 5.000 per 2 ban. Kalau ingin menikmati gado-gado, sepiringnya Rp 5.000 dan kelapa ijo Rp 5.000 per butirnya.

Dengan harga yang cukup terjangkau, Anda bukan hanya bakal menikmati kehangatan dan kesegaran air hangat belerang alami. Pun pemandangan deretan lereng dan puncak-puncak Gunung Rajabasa yang berselimut belantara rimbun dan kabut dari kejauhan.

Tapi kalau ingin kunjungan Anda lebih komplit dan merasakan sejenak menjadi pangeran-pengeran muda seperti yang kami rasakan, daki terlebih dulu Gunung Rajabasa hingga puncak utama, Batu Cukup, dan danau kawahnya. Selepas turun, baru mandi sauna di pemandian air panas belerang ini. Aahhh, nikmat dan segarnya pasti bakal bertambah-tambah, rrruarrr…biasa.

Naskah & foto: Akmal Kurniawan