Menu
utamaku selagi nanjak gunung biasanya serba praktis seperti mie, roti
isi, dan buryam kemasan. Lauknya telur asin, ikan teri, dan abon.
Sisanya makanan kecil seperti biskuit, madu, dan minuman kotak serta
kopi ataupun sari jahe. Tapi sewaktu mendaki Gunung Rajabasa, hmmm..,
bertambah komplit plit, plit, plit. Soalnya dua dari lima rekanku juga
membawa ayam goreng, tempe orek, dan nasi buatan bunda.
“Dimas tempe orek dan nasinya jangan lupa dibawa. Nanti makan apa di sana? Ini buat teman-temanmu juga,” kata bundanya Dimas sewaktu kami hendak berangkat dari rumahnya menuju kaki Gunung Rajabasa yang berjarak sekitar 1,5 Km. Mendapat perhatian seperti itu, jujur membuatku iri dan kangen perlakuan bundaku dulu.
Aku yakin bundanya Dimas begitu, bukan semata karena dia khawatir lantaran jagoan mudanya ini baru kali pertama nanjak gunung, sekalipun lokasinya tak jauh dari kediamannya, masih di Kalianda, Lampung Selatan. Melainkan karena naluri keibuannyalah yang membuatnya selalu begitu, dan akan terus begitu sepanjang hayat.
Aku jadi ingat bundaku dulu. Sewaktu aku masih berstatus mahasiswa, setiap kali aku packing barang buat nanjak, dia selalu bertanya mau kemana? Nanti makannya dimana? Sikapnya kadang bikin bete, kayak baru pertama kali lihat aku mau naik gunung saja. Padahal dia sudah tahu betul, sejak masuk SMA anaknya ini doyan nanjak dan terbiasa mandiri.
Seiring bertambahnya usia, akhirnya aku menyadari mengapa bundaku selalu bersikap begitu dulu. Itu semata karena dia sayang dan tak ingin anaknya kenapa-kenapa. Sekalipun kekhawatirannya itu terkesan berlebih dan menganggap anaknya masih seperti bocah.
Sekantong plastik putih berisi tempe orek yakni tempe yang dipotong kecil-kecil lalu digoreng kering dengan kecap, potongan cabe, irisan bawang merah dan ditambah lada, hasil racikan bundanya Dimas dan juga lima bungkus nasi putih, akhirnya jadi kami bawa. Dimas membawa tempe oreknya, sedangkan Adji rekanku yang termuda, kebagian membawa lima bungkus nasi karena daypack-nya masih longgar.
Aku yakin, suatu saat Dimas, pemuda berdarah Jawa-Jogja yang kini tengah menyelesaikan semester 8 di salah satu perguruan tinggi swasta di Bandar Lampung ini, akan memahami sikap keibuan yang ditunjukkan bunda kandungya itu secara spontan dan alamiah.
Dan aku pun percaya, dimanapun sikap orangtua terutama seorang ibu selalu begitu dengan anaknya. Sekalipun anaknya sudah menjadi pria dewasa.
Cuma kadar dalam menunjuknya rasa kekhawatiran sebagai salah satu bentuk perwujudan kasih sayangnya itu masing-masing berbeda. Ada yang frontal alias blak-blakan, ada juga yang biasa-biasa saja, dan ada pula yang tak kentara padahal dalam hatinya dia sangat menyayangi darah dagingnya. Sikap yang terakhir, biasanya cenderung lebih kepada seorang ayah terhadap putranya.
Ayam Kuning Buatan Bunda
Dengan tambahan tempe orek dan nasi itu, aku pikir ini lebih dari cukup. Soalnya aku sendiri sudah bawa aneka logistik favorit praktis dari Jakarta. Ditambah logistik hasil patungan dengan kelima rekanku dari tim CICAK alias Comunitas Cinta Alam Kalianda yakni Iyan, Amin, Andi, Dimas, dan Adji.
Ternyata tak cuma itu. Rekanku yang lain Amin, membawa seekor ayam yang sudah dipotong-potong menjadi beberapa bagian dan juga sudah dimasak oleh bundanya dengan bumbu kuning seperti kunyit, bawah putih, jahe, garam, dan batang sereh.
Teman-temannya mengira Amin sengaja membawa ayam karena anggota CICAK yang mahir otak-atik mesin mobil ini ingin merayakan ulang tahunnya dengan sesuatu yang berbeda di puncak gunung. Ternyata bukan, ultahnya bukan di bulan Mei. "Lagi pingin bawa ayam aja, baru sekarang kesampaian," ujar Amin.
Lalu apa karena disuruh bundanya sebagai bekal? Entahlah, yang pasti bundanya Amin, turut berjasa karena telah meracik ayam itu menjadi masakan yang tak patut ditolak.
Potongan ayam yang sebenarnya sudah siap santap itu ditempatkan dalam baskom plastik kecil lalu dibungkus dengan kantong plastik biar tidak tumpah.
Ayam goreng buatan bundanya Amin itu akhirnya kami nikmati sebagai lauk utama santap malam di puncak utama Gunung Rajabasa yang berketinggian 1.281 meter di atas permukaan laut sekaligus menjadi atap tertinggi Kabupaten Lampung Selatan, setelah lebih kurang 8 jam mendaki lewat jalur Way Belerang.
Sebelum disantap, potongan ayam itu aku goreng di wadah nasting dengan minyak mie, lantaran Iyan lupa membeli mentega. Paduan minyak mie ditambah kuah minyak ayam yang sudah mengental, justru membuat rasa ayamnya makin makyus setelah digoreng. Apalagi disantapnya di puncak gunung, kenikmatannya jadi bertambah-tambah.
Satu orang kebagian satu potong ayam berukuran cukup besar. Bahkan masih tersisa 3 potong lagi yang kami santap keesokan paginya sebagai lauk sarapan.
“Woi, tempe oreknya mana nih, tadi ada di sini,” teriak Dimas menanyakan lauk buatan bundanya itu. “Oiya, pantas ada yang kurang. Itu di dekat pintu tenda,” sahut Amin sambil menunjuk ke arah bungkusan tempe acak-acak itu. Kami pun hanyut dalam kenikmatan special dinner itu.
Saat aku melihat kelima rekanku begitu asyiknya melahap dua menu ditambah nasi dan mie, aku jadi teringat bundanya Dimas yang ramah saat bertemu di rumahnya dan bundanya Amin yang berjiwa muda dan senang bercanda, sekurangnya begitu saat bareng satu mobil melawat orang meninggal.
Berkat naluri keibuan keduanyalah, makan malam kami di puncak mungil yang cuma mampu menampung sekitar 3 tenda ini, menjadi begitu istimewa.
Bayangkan kalau tidak ada perhatian luar biasa dari keduanya, belum tentu kami dapat makan senikmat ini. Andai pun kami bawa bahan mentahnya lalu mengolahnya sendiri mulai dari beras, ayam dan bumbu-bumbunya pasti kami kerempongan alias kerepotan dan kesusahan memasaknya, selain pastinya menyita banyak waktu.
Saat makan, aku juga teringat akan anggapan, apapun lauknya kalau dimakan di puncak gunung akan terasa nikmat. Sebab bukan menunya yang membuatnya begitu, melainkan kebersamaan dan atmosfirnya. Aku setuju hal itu.
Tapi harus aku akui pula, kehadiran tempe orek dan ayam goreng buatan kedua bunda rekan pendakianku itu, mengubah makan malam kami di puncak yang berpanorama perairan Selat Sunda dan pesisir Kalianda di kejauhan saat cuaca cerah ini, menjadi mewah. Rasanya mengalahkan kemewahan candle light dinner di hotel berbintang lima dengan aneka menu berkelas sekalipun.
Saking nikmatnya, Andy, anggota CICAK yang biasa disapa Belo sampai lupa kalau dia sedang sakit gigi dan pipi kanannya bengkak. Dia terus saja menyantap kedua menu itu dengan lahapnya.
Naskah: Akmal Kurniawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar